Saturday, 12 December 2009

Sejarah Pembukuan Al-Qur'an

Penghimpunan al-Qur’an mempunyai dua pengertian yaitu penghafalan dan penulisan, seperti yang di nashkan Allah dalam Q.S. al-Qiyamah ayat 17: اِنَّ عَلَيْناَ جَمْعَهُ و وَقُرْءَانَهُ و (القيمه : ۱٧) “Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.” Kata penghimpunannya (jam’ahu) bermakna penghafalannya. Orang-orang yang hafal al-Qur’an disebut Jumma’ul-Qur’an atau Huffadzul-Qur’an. Sedangkan makna lain dari penghimpunannya adalah penulisannya, yakni penulisan seluruh al-Qur’an yang memisahkan masing-masing ayat dan surat, atau hanya mengatur susunan ayat-ayat al-Qur’an sajadan susunan tiap surat di dalam suatu shahifah tersendiri, atau mengatur susunan semua ayat dan surat di dalam beberapa shahifah yang kemudian dsatukan sehingga menjadi satu koleksi yang merangkum semua surat yang sebelumnya telah disusun satu demi satu.[1] Penulisan Al-Qur’an Pada Masa Rasulullah Rasulullah mempunyai beberapa orang pencatat wahyu. Di antaranya empat sahabat yang menjadi Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib), Mu’awiyah, Zaid bin Tsabit, Khalid bin Wallid, Ubai bin Ka’ab, dan Tsabit bin Qais. Rasulullah menyuruh mereka mencatat setiap wahyu yang turun, sehingga al-Qur’an yang terhimpun dalam dada menjadi kenyataan tertulis.[2] Ayat-ayat tersebut ditulis pada pelepah kurma, batu, kulit, tulang belikat kambing, dan unta serta pada tulang rusuknya.[3] Selain ditulis untuk Nabi, para sahabat yang pandai baca tulis juga menulis ayat-ayat al-Qur’an untuk disimpan sendiri. Rasulullah juga menyuruh para sahabat untuk menghafalkan ayat-ayat yang turun dengan susunan sesuai petunjuknya. Ayat-ayat dan surat-surat dalam al-Qur’an disusun sesuai petunjuk langsung dari malaikat jibril kepada Nabi Muhammad dan Nabi menyampaikan kepada para sahabat. Cara penyusunan yang demikian itu di sebut taufiqi atau sesuai petunjuk. Tiap-tiap kali malaikat Jibril datang dengan membawa wahyu, adalah dengan menerangkan pula tertibnya ayat dan surat itu, di mana harus diletakkan.[4] Setiap tahun Malaikat Jibril memeriksa hafalan Nabi Muhammad dan urutan ayat-ayat serta surat al-Qur’an. Dengan demikian terdapat tiga unsur yang tolong menolong menjaga kemurnian al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad yaitu: 1. Hafalan dari mereka yang hafal al-Qur’an 2. Naskah-naskah yang ditulis untuk Nabi 3. Naskah-naskah yang ditulis sahabat yang pandai membaca menulis untuk mereka masing-masing.[5] Keadaan tersebutlah yang menjamin al-Qur’an tetap terjaga dan terpelihara keasliannya sesuai janji Allah dalam Q.S. Al-Hijr ayat 9: [6] اِنَّا نَحْنُ نَزَّلْناَالذِّكْرَوَاِنَّالَهُ لَحفِظُوْنَ (الحجر ٩) "Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya" (al-Hijr, 9) Beberapa alasan mengapa al-Qur’an tidak dikumpulkan dan disusun damal satu mushaf pada masa Nabi Muhammad adalah: Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus, tetapi berangsur-angsur dan terpisah-pisah. Tidak mungkin untuk membukukannya sebelum selesai keseluruhannya. Sebagian ayat ada yang dimansukh. Bila turun ayat yang menyatakan nasakh, tidak mungkin bisa dibukukan dalam satu buku. Susunan ayat dan surat tidak berdasarkan urutan turunnya. Sebagian ada yang turunnya saat terakhir wahyu, tetapi urutannya ditempatkan pada awal surat. Hal ini tentunya menghendaki perubahan susunan tulisan. Masa turunnya Wahyu terakhir dengan wafatnya Rasulullah sangat pendek. Tidak ada motivasi yang mendorong untuk mengumpulkan al-Qur’an menjadi satu mushaf sebagaimana yang timbul pada masa pemerintahan khalifah Abu Bakar.[7] Pengumpulan Al-Qur’an di Masa Abu Bakar Dalam perang Yamamah di masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar, banyak penghafal al-Qur’an yang gugur. Keadaan ini membuat Umar bin Khattab cemas jika bertambah lagi angka kematian itu maka beberapa bagian al-Qur’an akan musnah. Maka Umar menasihati Khalifah agar segera menghimpun al-Qur’an dalam satu mushaf. Meskipun pada awalnya Abu Bakar merasa ragu, namun akhirnya ia memberikan persetujuannya. Abu Bakar merasa ragu karena khawatir apabila orang-orang Islam akan mempermudah dalam usaha menghayati dan menghapal al-Qur’an. Ia juga khawatir merasa khawatir bila mereka bila mereka hanya berpegang pada apa yang ada pada mushaf sehingga jiwa mereka menjadi lemah untuk menghapal al-Qur’an. Abu Bakar juga khawatir bila perbuatannya itu termasuk bid’ah yang menyalahi sunah Rasulullah. Ketika Abu Bakar menganggap bahwa hal itu sangat penting dalam menjaga kelestarian kitab al-Qur’an, maka ia beritikad baik untuk mengumpulkan al-Qur’an. Abu Bakar menugaskan Zaid bin Tsabit (salah seorang pembantu penulis Nabi) melaksanakan tugas tersebut. Pemilihan Zaid untuk melaksanakan tugas tersebut karena Zaid memiliki kemampuan dalam mengumpulkan al-Qur’an. Ia adalah orang yang hapal al-Qu’ran dan merupakan sekretaris wahyu bagi Rasulullah. Ia menyaksikan sajian yang terakhir dari al-Qur’an, di kala penutupan masa hayat Rasulullah. Zaid juga seorang yang wara’ (berhati-hati), sangat besar tanggung jawabnya terhadap amanat, baik akhlaknya, dan taat agamanya. Zaid juga dikenal sebagai orang yang cerdas.[8] Zaid mulai mengumpulkan al-Qur’an dari lembaran-lembaran lontar, kulit, lempengan batu, tulang belikat dan rusuk binatang serta dari hafalan para sahabat.[9] Zaid melaksanakan tugasnya dengan sangat hati-hati, setiap ayat yang diterimanya harus dibuktikan oleh dua kesaksian yaitu hafalan dan tulisan.[10] Zaid menuliskan ayat-ayat al-Qur’an tersebut dalam lembaran-lembaran suhuf yang sama besar ukurannya.[11] Setelah selesai, yakni sekitar tahun. Mushaf/Suhuf hasil tulisan Zaid itu kemudian diserahkan kepada Abu Bakar untuk disimpan dan kemudian di simpan Umar setelah Abu Bakar wafat. Setelah Umar wafat, Mushaf diserahkan kepada Hafsah binti Umar atas pesan Umar, dengan alasan Hafsah adalah seorang istri Nabi yang hafidz al-Qur’an dan pandai baca tulis.[12] Beberapa keistimewaan mushaf yang dikumpulkan pada masa Abu Bakar antara lain: Diperoleh dari hasil penelitian yang sangat mendetail dan kemantapan yang sempurna. Yang tercatat dalam mushaf hanyalah bacaan yang pasti, tidak ada nasakh bacaannya. Ijma’ Umar terhadap Mushaf tersebut secara mutawatir bahwa yang tercatat adalah ayat-ayat al-Qur’an. Mushaf mencakup qiraat sab’ah yang dinukil berdasarkan riwayat yang benar-benar sahih.[13] Penulisan Al-Qur’an Pada Masa Khalifah Utsman Saat jabatan khalifah dipegang oleh Usman bin Affan, Islam telah tersebar luas hingga ke Syam, Iraq, dan lain-lain. Ketika Usman mengerahkan pasukan ke Syam dan Iraq, sahabat Hudzaifah datang kepada khalifah dan melaporkan bahwa telah terjadi perselisihan di antara umat Islam tentang bacaan al-Qur’an. Hudzaifah mengusulkan untuk memadamkan perselisihan itu dengan mengirimkan naskah yang telah dihimpun pada masa Abu Bakar ke sana. Khalifah Usman segera meminta naskah yang disimpan oleh Hafsah dengan maksud untuk disalin, dan salinannya dikirimkan ke pusat negara-negara Islam kala itu.[14] Usman membentuk panitia penulisan al-Qur’an yang terdiri dari empat orang yaitu: Zaid bin Tsabit sebagai ketua, Sa’id bin Abil Ash, Abdullah bin al-Zubair, dan Abdurrahman bin al-Haris bin Hisyam. Panitia tersebut bertugas menyalin mushaf yang disimpan Hafsah yang dianggap sebagai standar baku penulisan al-Qur’an. Standar tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah cara penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga saat ini. Dalam pelaksanaan tugas tersebut Usman menasehatkan agar: Mengambil pedoman kepada bacaan mereka yang hafal al-Qur’an Kalau ada pertikaian di antara mereka tentang bacaan (bahasa), maka haruslah dituliskan dengan dialek suku Quraisy sebab alQur’an diturunkan menurut dialek mereka. Setelah tugas selesai dikerjakan, lembaran-lembaran al-Qur’an yang dipinjam dari Hafsah dikembalikan. Al-Qur’an yang telah dibukukan dinamai al-mushaf dan oleh panitia ditulis sebanyak lima buah. Empat buah di antaranya dikirim ke Mekah, Kufah, Basrah dan Syam. Sedangkan yang sebuah disimpan oleh Usman dan diberi nama mushaf al-Imam, yaitu mushaf rujukan bagi kaum muslimin. Sesudah itu Usman memerintahkan untuk mengumpulkan lembaran-lembaran yang bertuliskan al-Qur’an yang ditulis sebelum itu dan membakarnya. Dengan proses ini Utsman berhasil mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di antara umat Islam di masa depan dalam penulisan dan pembacaan Al-Qur'an. Sedangkan perbedaan bacaan tetap ada hingga sekarang, karena bacaan-bacaan yang dirawikan dengan mmutawatir dari Nabi terus dipakai oleh kaum muslimin dan bacaan-bacaan tersebut tidak bertentangan engan mushaf Usmani.[15] Perkembangan Penulisan Mushaf Pasca Usman Saat pertama kali ditulis, ayat-ayat al-Qur’an tidak memakai alat bantu baca harakat dan tanda titik. Salinan mushaf pada saat itu dilakukan tanpa penambahan titik dan harakat, dan hal ini berlangsung selama 40 tahun. Saat terjadi perluasan wilayah dan Islam semakin berkembang, banyak bangsa ajam (luar Arab) yang masuk Islam sehingga terjadi kekeliruan dalam menentukan jenis huruf dan kesalahan dalam membaca harakat. Pemberian Harakat (nuqath al-i’rab) Guna mengatasi kesalahan baca yang terjadi, Ziyad ibn Abihi, Gubernur Basrah (45-53 H). meminta Abul Aswad ad Dualy untuk membuat tanda-tanda baca. Tanda pertama yang diberikan adalah harakat (nuqath al-i’rab). Harakat fathah ditandai dengan satu titik di atas huruf, kasrah ditandai dengan satu titik di bawah huruf, dhammah ditandai dengan titik di depan huruf, dan tanwin ditandai dengan dua titik. Harakat ditulis dengan tinta yang berbeda dari huruf. Selanjutnya murid-murid Abu al-Aswad mengembangkan variasi penulisan baru. Mereka menambahkan tanda sukun dan tasydid.[16] Pemberian titik pada huruf (nuqath al-i’jam) Penulisan ayat-ayat al-Qur’an yang tanpa titik menimbulkan kesalahan pembacaan jenis-jenis huruf yang disebut al-‘ujmah. Pemberian titik pada huruf diawali ketika Khalifah Abdul Malik bin Marwan memerintahkan al-Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafy, Gubernur Irak waktu itu (75-95 H), untuk memberikan solusi terhadap ‘wabah’ al-‘ujmah di tengah masyarakat. Al-Hajjaj pun memilih Nahsr bin ‘Ashim dan Yahya bin Ya’mar untuk misi ini, sebab keduanya adalah yang paling ahli dalam bahasa dan qira’at. Setelah melewati berbagai pertimbangan, keduanya lalu memutuskan untuk menghidupkan kembali tradisi nuqath al-i’jam (pemberian titik untuk membedakan pelafalan huruf yang memiliki bentuk yang sama). Muncullah metode al-ihmal dan al-i’jam. Al-ihmal adalah membiarkan huruf tanpa titik, dan al-i’jam adalah memberikan titik pada huruf. Penerapannya adalah sebagai berikut: Untuk membedakan antara دdal dan ذdzal, رra’ dan زzay, صshad dan ضdhad, طtha’ dan ظzha’, serta ع‘ain dan غ ghain, maka huruf-huruf pertama dari setiap pasangan itu diabaikan tanpa titik (al-ihmal), sedangkan huruf-huruf yang kedua diberikan satu titik di atasnya (al-i’jam). untuk pasangan سsin dan ش syin, huruf pertama diabaikan tanpa titik, sedangkan huruf kedua (syin) diberikan tiga titik. Ini disebabkan karena huruf ini memiliki tiga ‘gigi’, dan pemberian satu titik saja diatasnya akan menyebabkan ia sama dengan huruf nun. Pertimbangan yang sama juga menyebabkan pemberian titik berbeda pada huruf-huruf ب ba’, ت ta, ث tsa, ن nun, dan يya’. untuk rangkaian huruf جjim, حha’, dan خkha’, huruf pertama dan ketiga diberi titik, sedangkan yang kedua diabaikan. sedangkan pasangan فfa’ dan ق qaf, diberi satu titik atas untuk fa’ dan dua titik atas untuk qaf. Nuqath al-I’jam atau tanda titik ini pada mulanya berbentuk lingkaran, lalu berkembang menjadi bentuk kubus, lalu lingkaran yang berlobang bagian tengahnya. Tanda titik ini ditulis dengan warna yang sama dengan huruf, agar tidak sama dan dapat dibedakan dengan tanda harakat (nuqath al-i’rab) yang umumnya berwarna merah. Karena nuqath al-i’rab dan nuqath al-i’jam ditulis dalam bentuk yang sama, yaitu melingkar, maka terjadi kebingungan baru dalam membedakan antara satu huruf dengan huruf lainnya. Khalil bin Ahmad al-Farahidy (w.170 H) kemudian menetapkan bentuk fathah dengan huruf alif kecil yang terlentang diletakkan di atas huruf, kasrah dengan bentuk huruf ya’ kecil di bawahnya dan dhammah dengan bentuk huruf waw kecil di atasnya. Sedangkan tanwin dibentuk dengan mendoublekan penulisan masing-masing tanda tersebut. Disamping beberapa tanda lain. Hingga tahun 58 H terdapat 10 karakter huruf yang diberi tanda titik, yaitu: nun, kha, dzal, syin, zay, ya, ba, tsa, fa, dan ta.[17] Penulisan Al-Qur’an Pasca Penemuan Mesin Cetak Menurut DR. Yahya Mahmud Junaid, percetakan al-Qur’an pertama setidaknya dilakukan di tiga tempat di Eropa: Venesia atau Roma pada kisaran tahun 1499 sampai 1538 M. Hamburg pada tahun 1694. Cetakan ini terdiri dari 560 halaman, dicetak dengan tinta hitam, namun sangat disayangkan memiliki banyak sekali kesalahan. Terdapat penggantian posisi huruf, hilangnya huruf tertentu dari satu kata, dan kesalahan lain terkait dengan penamaan surat. DR. Yahya menyebutkan bahwa cetakan ini masih tersimpan hingga kini di beberapa perpustakaan dunia, seperti Dar al-Kutub al-Mishriyyah dan Perpustakaan Universitas King Su’ud di Riyadh. Batavia pada tahun 1698. Versi cetakan ini terdiri teks al-Qur’an itu sendiri, serta terjemah dan catatan komentar terhadapnya. Versi ini sendiri disiapkan oleh seorang pendeta Italia bernama Ludvico Marracei Lucersi. Cetakan ini memiliki kelebihan dari segi penggunaan jenis huruf yang lebih bagus dari 2 versi cetakan sebelumnya. Pada tahun 1890 M, sebuah percetakan bernama al-Mathba’ah al-Bahiyyah berdiri di Kairo. Percetakan ini mencetak sebuah mushaf yang ditulis oleh seorang ulama qiraat bernama Syekh Ridhwan bin Muhammad, yang lebih dikenal sebagai al-Mikhallalaty. Dalam mushaf ini, beliau komitmen dengan rasm ‘utsmany dan memberikan tanda waqf. Disamping itu, ia juga menuliskan pengantar yang memuat penjelasan tentang sejarah penulisan al-Qur’an dan rasm berdasarkan kitab al-Muqni’ karya Imam al-Dany dan kitab al-Tanzil karya Abu Dawud. Mushaf versi ini kemudian dikenal dengan nama mushaf al-Mikhallalaty. Dan ia menjadi pilihan utama diantara semua jenis mushaf yang ada. Hanya saja kualitas kertas dan cetakannya agak buruk, suatu hal yang kemudian mendorong para ulama al-Azhar untuk membentuk panitia penulisan baru yang terdiri atas: Syekh Muhammad ‘Ali Khalaf al-Husainy, Syekh Hifny Nashif, Syekh Mushthafa ‘Inany dan Syekh Ahmad al-Iskandary. Cetakan pertama mushaf ini muncul pada tahun 1923 M, dan mendapatkan sambutan di dunia Islam. Ketika cetakan pertama ini habis, di Mesir kembali dibentuk sebuah lajnah yang dipimpin langsung oleh Syeikhul Azhar dan beranggotakan: Syekh Abdul Fattah al-Qadhy, Syekh Muhammad ‘Ali al-Najjar, Syekh Ali Muhammad al-Dhabba’ dan Syekh ‘Abdul Halim Basyuni. Tim ini kemudian memeriksa ulang mushaf dengan merujuk kepada kitab-kitab qiraat, rasm, tafsir dan ulumul Qur’an. Setelah itu disiapkanlah cetakan kedua mushaf al-Qur’an dalam bentuk yang lebih teliti. Seiring dengan itu, usaha percetakan al-Qur’an pun berjalan di berbagai belahan dunia Islam. Percetakan mushaf di Saudi Arabia bermula pada tahun 1949, Mushaf yang disebut dengan nama Mushaf Makkah al-Mukkaramah dicetak oleh Syarikah Mushaf Makkah al-Mukarramah. Percetakan ini mencetak mushaf dengan berbagai ukuran. Selain itu, juga bersepakat dengan seorang ahli khat ternama, Ustadz Muhammad Thahir al-Kurdy untuk menulis mushaf yang sesuai dengan kaidah rasm ‘utsmany. Setelah al-Kurdy menyelesaikan tugasnya, draft mushaf itu kemudian diperiksa ulang oleh sebuah team ulama, seperti al-Sayyid Ahmad Hamid al-Tijy seorang guru qiraat di Madrasah al-Falah, Mekkah, Syekh ‘Abd al-Zhahir Abu al-Samh imam dan khathib Masjidil Haram, dan beberapa ulama lainnya. Setelah diperiksa oleh tim ini, draft tersebut kemudian dikirim kepada Masyikhah al-Azhar yang kemudian mengesahkan draft mushaf tersebut. Setelah melewati proses penulisan dan koreksi selama 5 tahun, pada tahun 1947 dimulailah proses percetakan mushaf ukuran besar, yang selesai pada akhir tahun 1949. Lalu setelah itu, dicetaklah mushaf dengan ragam ukuran lainnya. Beberapa karakteristik mushaf ini, antara lain: 1. awal setiap halaman dimulai dengan ayat baru, dan akhir setiap halaman ditutup dengan akhir ayat pula. 2. permulaan juz dimulai dari awal halaman, dan akhir setiap juz juga diakhiri pada akhir halaman. 3. setiap juz terdiri dari 20 halaman, kecuali juz amma. 4. hizb, nisf hizb dan rubu’ hizb ditandai dengan tanda lengkungan bulan sabit. Mushaf Makkah al-Mukarramah ini kemudian mendapatkan sambutan yang hangat, di Saudi bahkan di luar Saudi. Bahkan Raja Saudi waktu itu, Abd al-‘Aziz Al-Su’ud memberikan dukungan moril dan materil kepada para pelaksana proyek ini. Tiga puluh tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1979, muncul pula mushaf edisi baru yang dicetak di kota Jeddah. Hingga akhirnya pada tahun 1984 (bertepatan dengan bulan Muharram 1405 H), pemerintah Kerajaan Arab Saudi resmi membuka sebuah percetakan al-Qur’an terbesar di dunia, tepatnya di kota Madinah al-Munawwarah. [1] As-Shalih, Subhi, 1993, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Jakarta, Pustaka Firdaus cetakan keempat hal. 73 [2] Ibid, hal 78 [3] Hasan, Ibrahim Hasan, 2001, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, Jakarta, Kalam Mulia, hal. 392 [4] Chalil, Munawar, 1952, Al-Qur’an dari Masa ke Masa, Semarang, Ramadhani, hal. 24. [5] Departemen Agama Republik Indonesia, 1994, Al-Qur’an dan terjemahannya, Semarang: PT Kumudasmoro Grafindo, hal. 22 [6] Op.cit. 1 hal.84 [7] As-Shabuuniy, Muhammad Ali, 1993, Studi Ilmu Al-Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, hal 106-107 [8] Ibid hal 102-103. [9] Watt, W. Montgomery, 1995, Pengantar Studi Al-Qur’an, Jakarta: PT Raja Grafindo persada, hal. 62. [10] Op.cit. 1 hal.86 [11] Op.cit. 9 hal.62 [12] Zuhdi, Masjfuk, 1982, Pengantar Ulumul Qur’an, Surabaya: PT Bina Ilmu, cetakan kedua, hal. 16-17 [13] Op.cit. 7 hal.105 [14] Op.cit. 4 hal. 28 [15] Op.cit. 5 hal. 25-26 [16] Ash-Shiddieqy, M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir (Jakarta: PT Mida Surya Grafindo) hal 93 [17] op. cit 1 hal. 105-116