Monday 6 February 2012

BALADA SEBUAH CERPEN



BALADA SEBUAH CERPEN
Oleh Inna Imroatun
Kembali dibaliknya halaman majalah lama itu. Wajahnya yang panik dan kusut jelas terlihat, sekusut lembar-lembar majalah edisi lama yang sejak tadi dipegangnya. Tak dihiraukannya sang kakak yang memasuki kamarnya dan menatap heran. Ketika apa yang dicarinya tak ketemu, tangannya segera beralih ke majalah  edisi lama yang lain. Sementara di lantai dekat kakinya berserakan majalah-majalah edisi entah tahun berapa, yang tadi diambilnya dari loteng rumah.
Beberapa majalah telah selesai dibolak-balik, tetapi yang dicari belum juga ketemu.
“Kamu cari apa sih, Rin?” Sinta, kakaknya tidak bisa menahan rasa ingin tahunya melihat kelakuan Rina, adiknya. “Dari tadi sibuk banget sampai lupa waktu”
“Hah!” Rina mendongak kaget.
“Ini Kak, nyari cerpen buat tugas Bahasa Indonesia, tapi nggak ada yang sesuai dengan tema yang diminta.”
“Memangnya disuruh nyari tema apa?”
“Banyak sih Kak, sebenarnya. Keagamaan, kemasyarakatan, pendidikan, masalah sosial dan lain-lain.”
“Kalau banyak, kok nggak segera dapat?”
Sinta mendekat, ikut melihat-lihat majalah yang dipegang adiknya.
“Kok kamu nyarinya di majalah edisi lama, Rin?”
“Yah, Kakak. Jelas aja aku cari di majalah lama. Kalau cari di majalah baru, bisa-bisa ketahuan kalau nyontek,” ucap Rina sambil cemberut.
“Oalah, Rin Rin! Kamu disuruh buat cerpen apa disuruh cari cerpen sih?”
Rina menyeringai malu. “Sebenarnya disuruh bikin, Kak. Tapi aku bingung. Gak dapat ide. Mana besok pagi sudah harus dikumpulkan lagi.”
“Mengapa tidak minta bantuan kakak, Rin?”
Kembali Rina menyeringai. “Lupa, Kak.”
Perlahan rasa sesal masuk ke hati Rina. Dia ingat, tugas itu didapatnya dua minggu lalu, tapi dia meremehkannya. Dia pikir, alah dikerjakan satu jam juga jadi. Hingga siang tadi saat temannya menelpon dan menanyakan tugasnya.
Rina kalang kabut, karena tidak segera mendapat ide. Akhirnya dia putuskan untuk mencari cerpen dari majalah-majalah lama yang pernah dimilikinya. Paling juga gurunya tidak tahu, demikian pikirnya.
“Heh, malah bengong,” tangan Sinta menepuk bahu Rina pelan. Rina tersentak dari lamunannya.
“Sudah sana mandi dulu! Sudah sore, nanti kamu masuk angin kalau mandi terlalu sore.”
“Tapi, Kak!”
Sinta tersenyum melihat wajah kalut adiknya. Ada rasa geli campur iba melihat wajah imut adiknya yang kusut.
“Mandi saja dulu biar segar! Nanti malam aku bantuin,” ujar Sinta.
“Benar, Kak?” Rona sumringah mengganti wajah kusut Rina mendengar janji kakaknya.
“Tentu benar dong, adikku sayang,” senyum Sinta.
“Asyik.”
Rina segera beranjak dari tempat duduknya dan menyambar handuk untuk mandi.
“Eit, beresin dulu majalah-majalah kamu itu!” Sinta mengingatkan.
Tapi Rina sudah terlanjur lari masuk kamar mandi. “Nanti saja, Kak.”
Sinta geleng-geleng kepala melihat tingkah adik semata wayangnya. Tangan Sinta segera meraih  dan merapikan majalah-majalah yang ada di lantai, ditaruhnya di rak buku.
Rina sebenarnya pintar, tapi sifatnya yang suka menunda-nunda waktu sering merepotkan. Sinta tak pernah tega untuk memarahinya. Apalagi mereka cuma dua bersaudara. Ayah mereka sibuk bekerja dan semenjak ibu mereka meninggal lima tahun yang lalu, Sintalah yang menggantikan posisi ibu bagi Rina. Ayah mereka tidak mau menikah lagi.
Tanpa sadar Sinta menitikkan air matanya.
“Dor!” Suara Rina mengagetkan Sinta. Rupanya Sinta terhanyut dengan pikirannya hingga adiknya selesai mandi. Segera diusapnya titik air di ujung matanya, sebelum Rina mengetahuinya.
“Sudah selesai, Rin?” tanya Sinta mengalihkan pikiran. “Makan yuk! Kakak tadi beli tahu bakso di warung depan.”
***
Malam itu Rina kembali kebingungan memilih tema. Dia belum menemukan ide yang tepat untuk cerpennya.
“Gimana, Kak?” rajuknya pada sang kakak.
“Nah, sekarang putuskan dulu, tetap mau nyontek apa bikin sendiri?” kerling Sinta menggoda.
“Ah, Kakak. Bener-benar bingung nih.”
“Rina ... Rina, sejak kapan sih, adikku ini suka nyontek?”
“Duh, jangan godain terus dong, Kak!” rajuk Rina malu. “Gak ada ide sama sekali, Kak.”
“Coba ingat-ingat! Ada nggak pengalamanmu yang bisa dijadikan tema cerpen?”
Sinta tersenyum maklum. Dia ingat sewaktu sekolah dulu juga tidak biasa berpikir jernih saat sedang panik atau kalut. Dia harus bisa menenangkan adiknya agar bisa menemukan ide yang sesuai dan dari pikirannya sendiri.
“Beneran nih? Nggak ada pengalaman yang menarik?” pancing Sinta.
Rina merenung, dia terdiam. Rina mencoba mengingat-ingat pengalamannya yang menarik untuk dijadikan cerpen.
“Eh, jangan lupa, besok pagi kembalikan majalah-majalah yang kamu baca tadi lho, Rin!”
Seakan tersentak Rina tersadar dari pikirannya. Tiba-tiba ia tersenyum lebar dan kemudian tertawa. Sinta heran melihat kelakuan adiknya. Ditatapnya Rina penuh tanda tanya.
“Ada apa, Rin?”
Rina memegang tangan kakaknya dengan gembira. “Terimakasih, Kak.”
Sinta masih tak mengerti.
“Ha ha ha,” Rina tak dapat menahan tertawa. “ Aku sudah mendapat tema yang bagus, Kak.”
“Apa?” Sinta penasaran.
“He ... he ... , itu tadi lho, Kak.”
Rina segera mengambil alat tulisnya. Sinta mendekat. Dilihatnya Rina menuliskan sebuah judul di atas kertas. Balada Sebuah Cerpen, demikian tulis Rina.
“Kakak keluar kamar dulu, nanti kalau sudah selesai tolong dikoreksi ya!”
Sinta maklum. Kalau Rina sudah mulai asyik mengerjakan sesuatu dia tidak mau diganggu. Sinta hapal dengan kebiasaan adiknya. Meskipun kadang panik dan bingung, tetapi jika sudah menemukan ide, dia akan bisa menyelesaikan semuanya sendiri. Cuma butuh dukungan dan pancingan.
Di dalam kamar, jari jemari Rina dengan lincah memainkan pulpennya membentuk rangkaian kata dan kalimat untuk menyelesaikan tugasnya.
Ya, dia sudah menemukan ide ketika kakaknya mengingatkan tentang majalah-majalah lama itu. Mengapa dia tidak membuat cerpen tentang kebingungannya tadi, tentang kekalutannya untuk membuat sebuah cerpen.
Semua ide mengalir lancar melalui tangannnya. Tertuang dalam lembar demi lembar kertas di bukunya.
Tanpa menunggu lama, sebuah cerpen telah tertulis dalam bukunya. Rina tersenyum lega. Tugasnya telah selesai. Rasa malu terbersit dalam hatinya ketika ingat niatnya semula untuk menyontek cerpen dari majalah.
Untung saja, Sinta menyadarkannya. Kalau tidak, tentu dia telah menjadi seorang plagiator. Sesuatu yang sangat dibencinya.
Malam itu Rina tertidur lelap dengan sebuah mimpi, menjadi tokoh utama dalam cerpen karangannya sendiri.




Cerpen tersebut adalah karya saya sendiri yang saya tanda tangani setelah salat tahajjud pada hari Sabtu tanggal 3 Desember 2008 pukul  03.30 WIB

Kebumen, 2 Desember 2008

INNA IMROATUN
NIM. 11508018
                                                                                                 










KU INGIN KEMBALI

Ketika asaku pupus
Untaian doa tak terucapkan
Ingin aku menjerit
Namun tak kuasa
Gelisah menyapa
Iringi langkahku
Nan sepi
Ketika asaku pupus
Enyahkan rasa rindu di hati
Menari marahku
Bersama lukaku
Ambil rasaku
Luapkan dukaku
Inilah hampa
Ketika asaku pupus
Entah ke mana aku lari
Jejak langkahku dulu
akan kucari
Lembar hitam kelam
akan kututup
Nantikan aku kembali
Mencari jalan lurus untuk menuju-Mu

Puisi tersebut adalah karya saya sendiri yang saya tanda tangani setelah salat tahajjud pada hari Sabtu tanggal 14 November 2008 pukul  03.45 WIB.
Kebumen, 14 November 2008

INNA IMROATUN
NIM. 11508018