BALADA SEBUAH CERPEN
Oleh Inna Imroatun
Kembali dibaliknya
halaman majalah lama itu. Wajahnya yang panik dan kusut jelas terlihat, sekusut
lembar-lembar majalah edisi lama yang sejak tadi dipegangnya. Tak dihiraukannya
sang kakak yang memasuki kamarnya dan
menatap heran.
Ketika apa yang dicarinya tak ketemu, tangannya segera beralih ke majalah edisi lama yang lain. Sementara di lantai
dekat kakinya berserakan majalah-majalah edisi entah tahun berapa, yang tadi
diambilnya dari loteng rumah.
Beberapa majalah
telah selesai dibolak-balik, tetapi yang dicari belum juga ketemu.
“Kamu cari apa sih,
Rin?” Sinta, kakaknya tidak bisa menahan rasa ingin tahunya melihat kelakuan
Rina, adiknya. “Dari tadi sibuk banget sampai lupa waktu”
“Hah!” Rina mendongak
kaget.
“Ini Kak, nyari
cerpen buat tugas Bahasa Indonesia, tapi nggak ada yang sesuai dengan tema yang
diminta.”
“Memangnya disuruh
nyari tema apa?”
“Banyak sih Kak,
sebenarnya. Keagamaan, kemasyarakatan, pendidikan, masalah sosial dan
lain-lain.”
“Kalau banyak, kok
nggak segera dapat?”
Sinta mendekat, ikut
melihat-lihat majalah yang dipegang adiknya.
“Kok kamu nyarinya di
majalah edisi lama, Rin?”
“Yah, Kakak. Jelas
aja aku cari di majalah lama. Kalau cari di majalah baru, bisa-bisa ketahuan
kalau nyontek,” ucap Rina sambil cemberut.
“Oalah, Rin Rin! Kamu
disuruh buat cerpen apa disuruh cari cerpen sih?”
Rina menyeringai
malu. “Sebenarnya disuruh bikin, Kak. Tapi aku bingung. Gak dapat ide. Mana
besok pagi sudah harus dikumpulkan lagi.”
“Mengapa tidak minta
bantuan kakak, Rin?”
Kembali Rina
menyeringai. “Lupa, Kak.”
Perlahan rasa sesal
masuk ke hati Rina. Dia ingat, tugas itu didapatnya dua minggu lalu, tapi dia
meremehkannya. Dia pikir, alah dikerjakan satu jam juga jadi. Hingga siang tadi
saat temannya menelpon dan menanyakan tugasnya.
Rina kalang kabut,
karena tidak segera mendapat ide. Akhirnya dia putuskan untuk mencari cerpen
dari majalah-majalah lama yang pernah dimilikinya. Paling juga gurunya tidak
tahu, demikian pikirnya.
“Heh, malah bengong,” tangan Sinta menepuk bahu
Rina pelan. Rina tersentak dari lamunannya.
“Sudah sana mandi
dulu! Sudah sore, nanti kamu masuk angin kalau mandi terlalu sore.”
“Tapi, Kak!”
Sinta tersenyum
melihat wajah kalut adiknya. Ada rasa geli campur iba melihat wajah imut
adiknya yang kusut.
“Mandi saja dulu biar
segar! Nanti malam aku bantuin,” ujar Sinta.
“Benar, Kak?” Rona
sumringah mengganti wajah kusut Rina mendengar janji kakaknya.
“Tentu benar dong,
adikku sayang,” senyum Sinta.
“Asyik.”
Rina segera beranjak
dari tempat duduknya dan menyambar handuk untuk mandi.
“Eit, beresin dulu
majalah-majalah kamu itu!” Sinta mengingatkan.
Tapi Rina sudah
terlanjur lari masuk kamar mandi. “Nanti saja, Kak.”
Sinta geleng-geleng
kepala melihat tingkah adik semata wayangnya. Tangan Sinta segera meraih dan merapikan majalah-majalah yang ada di
lantai, ditaruhnya di rak buku.
Rina sebenarnya
pintar, tapi sifatnya yang suka menunda-nunda waktu sering merepotkan. Sinta
tak pernah tega untuk memarahinya. Apalagi mereka cuma dua bersaudara. Ayah
mereka sibuk bekerja dan semenjak ibu mereka meninggal lima tahun yang lalu,
Sintalah yang menggantikan posisi ibu bagi Rina. Ayah mereka tidak mau menikah
lagi.
Tanpa sadar Sinta
menitikkan air matanya.
“Dor!” Suara Rina
mengagetkan Sinta. Rupanya Sinta terhanyut dengan pikirannya hingga adiknya
selesai mandi. Segera diusapnya titik air di ujung matanya, sebelum Rina
mengetahuinya.
“Sudah selesai, Rin?”
tanya Sinta mengalihkan pikiran. “Makan yuk! Kakak tadi beli tahu bakso di
warung depan.”
***
Malam itu Rina kembali
kebingungan memilih tema. Dia belum menemukan ide yang tepat untuk cerpennya.
“Gimana, Kak?”
rajuknya pada sang kakak.
“Nah, sekarang
putuskan dulu, tetap mau nyontek apa bikin sendiri?” kerling Sinta menggoda.
“Ah, Kakak.
Bener-benar bingung nih.”
“Rina ... Rina, sejak
kapan sih, adikku ini suka nyontek?”
“Duh, jangan godain
terus dong, Kak!” rajuk Rina malu. “Gak ada ide sama sekali, Kak.”
“Coba ingat-ingat!
Ada nggak pengalamanmu yang bisa dijadikan tema cerpen?”
Sinta tersenyum
maklum. Dia ingat sewaktu sekolah dulu juga tidak biasa berpikir jernih saat
sedang panik atau kalut. Dia harus bisa menenangkan adiknya agar bisa menemukan
ide yang sesuai dan dari pikirannya sendiri.
“Beneran nih? Nggak
ada pengalaman yang menarik?” pancing Sinta.
Rina merenung, dia
terdiam. Rina mencoba mengingat-ingat pengalamannya yang menarik untuk
dijadikan cerpen.
“Eh, jangan lupa,
besok pagi kembalikan majalah-majalah yang kamu baca tadi lho, Rin!”
Seakan tersentak Rina
tersadar dari pikirannya. Tiba-tiba ia tersenyum lebar dan kemudian tertawa.
Sinta heran melihat kelakuan adiknya. Ditatapnya Rina penuh tanda tanya.
“Ada apa, Rin?”
Rina memegang tangan
kakaknya dengan gembira. “Terimakasih, Kak.”
Sinta masih tak
mengerti.
“Ha ha ha,” Rina tak
dapat menahan tertawa. “ Aku sudah mendapat tema yang bagus, Kak.”
“Apa?” Sinta
penasaran.
“He ... he ... , itu
tadi lho, Kak.”
Rina segera mengambil
alat tulisnya. Sinta mendekat. Dilihatnya Rina menuliskan sebuah judul di atas
kertas. Balada Sebuah Cerpen, demikian tulis Rina.
“Kakak keluar kamar
dulu, nanti kalau sudah selesai tolong dikoreksi ya!”
Sinta maklum. Kalau
Rina sudah mulai asyik mengerjakan sesuatu dia tidak mau diganggu. Sinta hapal
dengan kebiasaan adiknya. Meskipun kadang panik dan bingung, tetapi jika sudah
menemukan ide, dia akan bisa menyelesaikan semuanya sendiri. Cuma butuh
dukungan dan pancingan.
Di dalam kamar, jari
jemari Rina dengan lincah memainkan pulpennya membentuk rangkaian kata dan
kalimat untuk menyelesaikan tugasnya.
Ya, dia sudah
menemukan ide ketika kakaknya mengingatkan tentang majalah-majalah lama itu.
Mengapa dia tidak membuat cerpen tentang kebingungannya tadi, tentang
kekalutannya untuk membuat sebuah cerpen.
Semua ide mengalir
lancar melalui tangannnya. Tertuang dalam lembar demi lembar kertas di bukunya.
Tanpa menunggu lama,
sebuah cerpen telah tertulis dalam bukunya. Rina tersenyum lega. Tugasnya telah
selesai. Rasa malu terbersit dalam hatinya ketika ingat niatnya semula untuk
menyontek cerpen dari majalah.
Untung saja, Sinta
menyadarkannya. Kalau tidak, tentu dia telah menjadi seorang plagiator. Sesuatu
yang sangat dibencinya.
Malam itu Rina
tertidur lelap dengan sebuah mimpi, menjadi tokoh utama dalam cerpen
karangannya sendiri.
Cerpen tersebut adalah karya saya
sendiri yang saya tanda tangani setelah salat tahajjud pada hari Sabtu tanggal
3 Desember 2008 pukul 03.30 WIB
Kebumen, 2
Desember 2008
INNA IMROATUN
NIM. 11508018
KU INGIN KEMBALI
Ketika asaku pupus
Untaian doa tak terucapkan
Ingin aku menjerit
Namun tak kuasa
Gelisah menyapa
Iringi langkahku
Nan sepi
Ketika asaku pupus
Enyahkan rasa rindu di hati
Menari marahku
Bersama lukaku
Ambil rasaku
Luapkan dukaku
Inilah hampa
Ketika asaku pupus
Entah ke mana aku lari
Jejak langkahku dulu
akan kucari
Lembar hitam kelam
akan kututup
Nantikan aku kembali
Mencari jalan lurus untuk
menuju-Mu
Puisi tersebut adalah karya saya sendiri
yang saya tanda tangani setelah salat tahajjud pada hari Sabtu tanggal 14
November 2008 pukul 03.45 WIB.
Kebumen, 14 November 2008
INNA IMROATUN
NIM. 11508018